This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

February 2, 2020

Mengenal Syarat Shalat dari Kitab Bulughul Maram

Kali ini kita melihat bahasan Bulughul Maram dari Ibnu Hajar tentang syarat shalat. Apa sih yang dimaksud syarat shalat? Apa ada perbedaan dengan rukun shalat?

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat – Bab Syarat-Syarat Shalat

Mengenal syarat shalat

Yang dimaksud dengan syarat adalah:
مَا يَتَوَقَّفُ وُجُوْدُ الشَّيْءِ عَلَى وُجُوْدِهِ وَيَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ العَدَمُ وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدُ الشَّيْءِ
“Sesuatu tergantung pada adanya dia. Tidak adanya dia berarti tidak ada sesuatu. Namun jika ada dia, belum tentu sesuatu itu ada.”
Yang dimaksud syarat sah shalat adalah bersuci, kita terapkan dengan pengertian di atas misalnya untuk bersuci. Shalat itu tergantung pada bersuci. Tidak ada bersuci berarti tidak ada shalat. Namun jika bersuci itu ada, belum tentu shalat itu ada, karena masih ada syarat lainnya selain dari bersuci yang mesti dipenuhi seperti menutup aurat.
Para ulama membedakan antara rukun dan syarat. Kalau syarat itu di luarnya sesuatu, sedangkan rukun itu di dalamnya atau bagian dari sesuatu.
Dalam bahasan Bulughul Maram karya Ibnu Hajar ini, beliau menyebutkan hadits-hadits terkait dengan empat syarat shalat yaitu bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan menjauhi najis. Sedangkan syarat mengetahui waktu shalat sudah dijelaskan dalam hadits-hadits sebelumnya ketika menjelaskan bab waktu shalat. Karena mengetahui waktu shalat itu merupakan syarat wajib shalat dan syarat pelaksanaan. Setelah itu barulah beliau membahas hadits tentang azan karena azan itu berkumandang kalau sudah masuk waktu shalat. Ada juga bahasan tambahan dalam syarat shalat ini tentang berbicara dan banyak gerak.

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Kedua.

Share:

Bulughul Maram – Shalat: Jika Kentut, Shalat Diulangi dari Awal ataukah Tinggal Melanjutkan yang Tersisa?

Bagaimana jika ada yang batal wudhunya karena kentut, apakah ia mengulangi shalatnya dari awal atau tinggal melanjutkan rakaat tersisa? Ternyata ada hadits yang membicarakan dua masalah ini. Kita lihat dari bahasan Bulughul Maram berikut ini.

Kitab Shalat – Bab Syarat-Syarat Shalat


Hadits #205

عَنْ عَلِيِّ بْنِ طَلْقٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – – إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي اَلصَّلَاةِ فَلْيَنْصَرِفْ , وَلْيَتَوَضَّأْ , وَلْيُعِدِ الصَّلَاةَ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ .
Dari ‘Ali bin Tahlq radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian kentut dalam shalat hendaklah ia membatalkan shalat, kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.” (Diriwayatkan oleh yang lima dan disahihkan oleh Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 205; Tirmidzi, no. 1164; An-Nasai dalam Al-Kubra, 5:324; Ahmad, 2:82. Kesimpulan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, 2:320, sanad hadits ini dhaif karena terdapat Muslim bin Sallam tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain ‘Isa bin Hithan. Yang menganggapnya kredibel hanyalah Ibnu Hibban. Sanadnya dan matannya disebutkan dalam Ats-Tsiqqat].

Hadits #206

وَعَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – – مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ , أَوْ رُعَافٌ , أَوْ مَذْيٌ , فَلْيَنْصَرِفْ , فَلْيَتَوَضَّأْ , ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ , وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ – رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ , وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang terkena muntah, mimisan (darah yang keluar dari hidung), madzi (lendir yang keluar dari kemaluan karena syahwat), maka hendaklah ia batalkan shalatnya, kemudian ia berwudhu, lalu ia lanjutkan shalat sebelumnya selama ketika itu ia tidak berbicara.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits ini didhaifkan oleh Imam Ahmad). [HR. Ibnu Majah, no. 1221. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa hadits ini dhaif, Ibnu Majah bersendirian dari penulis enam kitab lainnya. Lihat Minhah Al-‘Allam, 1:316].

Faedah hadits

Pertama: Hadits ini menunjukkan bahwa di antara syarat shalat adalah harus bersuci.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225)
Kedua: Kentut itu membatalkan wudhu dan membatalkan shalat. Ini adalah perkara yang disepakati oleh para ulama. Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Mundzir, “Para ulama sepakat bahwa keluarnya angin saat kentut dari dubur adalah hadats yang membatalkan wudhu.” (Al-Awsath, 1:107, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 2:322).
Ketiga: Hadits ‘Aisyah (hadits #206) menerangkan bahwa jika dapati hadats, maka cukup ulangi wudhu dan melanjutkan shalat yang tadi telah dikerjakan. Padahal hadits Abu Hurairah yang disebut di atas “Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu” menunjukkan bahwa shalat orang berhadats tidaklah diterima. Artinya jika terjadi hadats sebelum shalat, maupun berhadats di tengah shalat walaupun darurat, tetap shalatnya tidaklah diterima.
Keempat: Siapa yang tetap melanjutkan shalat saat berhadats di tengah shalat, maka itu diharamkan. Jika shalatnya dilanjutkan tanpa mengulangi wudhu, berarti istihza’ (melecehkan agama) dan bermain-main dengan syariat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
وَمَنْ صَلَّى بِغَيْرِ طَهَارَةٍ شَرْعِيَّةٍ مُسْتَحِلًّا لِذَلِكَ فَهُوَ كَافِرٌ وَلَوْ لَمْ يَسْتَحِلَّ ذَلِكَ فَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي كُفْرِهِ وَهُوَ مُسْتَحِقٌّ لِلْعُقُوبَةِ الْغَلِيظَةِ
“Siapa saja yang shalat tanpa bersuci yang sesuai perintah syariat dan menganggapnya keadaan tidak bersuci tadi itu halal, maka ia kafir. Seandainya ia tidak menganggapnya halal, para ulama berselisih pendapat tentang kafirnya. Namun ia berhak mendapatkan hukuman berat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21:295)
Intinya, semua hadits menunjukkan bahwa keluar angin saat kentut membatalkan wudhu dan wajib mengulangi shalat dari awal. Demikian penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 2:323.
Kelima: Para ulama berbeda pendapat mengenai sesuatu yang najis yang keluar dari selain dua jalan apakah membatalkan wudhu ataukah tidak. Imam Syafii, Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad, juga pilihan Ibnu Taimiyah, As-Syaukani, Syaikh As-Sa’di, Syaikh Ibnu Baz, bahwa najis yang keluar dari selain dua jalan tidaklah membatalkan wudhu. Karena asalnya tetap seperti keadaan asal, sampai adanya dalil yang menyatakan batal. Dalam perang Dzatur Riqa’ ada sahabat ‘Abbad bin Busyr, ia terkena panah dan keluar darah yang banyak, namun ia tetap melanjutkan shalat. (HR. Abu Daud, no. 198; Ahmad, 23:51; Ibnu Khuzaimah, no. 36; Ibnu Hibban, 3:375)
Ibnu Taimiyyah menganjurkan untuk berwudhu saja ketika keluar mimisan dan muntah (namun bukan wajib). Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 21:222, 21:228, dan 20:526.

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Kedua.
Share:

Bulughul Maram – Shalat: Rambut Wanita Terlihat Saat Shalat

Bagaimana jika wanita muslimah shalat, lantas rambutnya terlihat apakah shalatnya batal?

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat – Bab Syarat-Syarat Shalat

Hadits #207

وَعَنْهَا , عَنْ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : – لَا يَقْبَلُ اَللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيُّ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda, “Allah tidaklah menerima shalat wanita yang telah mengalami haidh sampai ia mengenakan kerudung.” (Diriwayatkan oleh yang lima kecuali An-Nasai, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah). [HR. Abu Daud, no. 641; Tirmidzi, no. 377; Ibnu Majah, no. 655; dan Ahmad, 42:87; Ibnu Khuzaimah, no. 775. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih sesuai syarat Muslim walaupun ia tidak mengeluarkannya].

Faedah hadits

  1. Jika wanita telah mengalami haidh, berarti sudah baligh, maka wajib menutup kepalanya saat shalat.
  2. Jika wanita tersebut shalat dan masih ada yang terbuka dari rambut kepalanya, maka shalatnya tidak sah.
  3. Anak perempuan yang belum baligh, shalatnya sah walaupun tidak menutup kepala karena aurat anak perempuan lebih ringan dibanding perempuan dewasa.
  4. Wanita diperintahkan membuka wajahnya saat shalat, bahkan ada ijmak akan hal ini kecuali ada laki-laki asing.
  5. Dua telapak tangan hingga pergelangan tangan menurut jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hambali dalam salah satu pendapat) boleh dibuka.
  6. Kedua telapak kaki adalah aurat menurut jumhur ulama (Syafiiyah, Hambali, Malikiyah) sehingga wajib ditutup saat shalat, tidak boleh dibuka. Sedangkan Ibnu Taimiyyah (dalam Majmu’ah Al-Fatawa, 22:115, 117, 118) menganggap kedua telapak kaki dalam shalat masih boleh dibuka.

Catatan dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i mengenai syarat menutup aurat:

  1. Menutup aurat ini termasuk syarat sah shalat, baik bagi laki-laki maupun perempuan, baik shalat di hadapan orang lain maupun shalat sendirian, berlaku dalam shalat wajib maupun shalat sunnah, shalat jenazah maupun thawaf, termasuk pula ketika melakukan sujud tilawah dan sujud syukur.
  2. Jika aurat orang yang shalat itu terbuka, tidak sah shalatnya baik terbuka banyak maupun sedikit, atau itu sebagian saja. Walaupun ia shalat dalam keadaan tertutup dari pandangan orang, kemudian setelah selesai shalat, ada bagian yang terbuka auratnya, wajib shalatnya diulang, terserah ia mengetahuinya sebelum shalat lalu ia lupa, ataukah ia tidak mengetahuinya sama sekali.
  3. Jika aurat terbuka karena angin, lalu ditutup seketika itu juga, shalatnya tidak batal. Namun jika tidak segera ditutup, shalatnya batal karena kelalaian.

Referensi:

  1. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  2. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Kedua.


Share:

Bulughul Maram – Shalat: Doa Bakda Azan

Amalan berikut penting diamalkan bakda azan. Dimulai terlebih dahulu dengan bahasan Bulughul Maram.

Kitab Shalat – Bab Al-Adzan (Tentang Azan)

Hadits #204

وَعَنْ جَابِرٍ- رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ- أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : – مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ اَلنِّدَاءَ : اَللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ اَلدَّعْوَةِ اَلتَّامَّةِ , وَالصَّلَاةِ اَلْقَائِمَةِ , آتِ مُحَمَّدًا اَلْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ , وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا اَلَّذِي وَعَدْتَهُ , حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Siapa yang mengucapkan setelah mendengar azan ‘ALLAHUMMA ROBBA HADZIHID DA’WATIT TAAMMAH WASH SHOLATIL QOO-IMAH, AATI MUHAMMADANIL WASILATA WAL FADHILAH, WAB’ATSHU MAQOOMAM MAHMUUDA ALLADZI WA ‘ADTAH’ [artinya: Ya Allah, Rabb pemilik dakwah yang sempurna ini (dakwah tauhid), shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah (kedudukan yang tinggi), dan fadilah (kedudukan lain yang mulia). Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqom (kedudukan) terpuji yang telah Engkau janjikan padanya], maka dia akan mendapatkan syafaatku kelak.” (Dikeluarkan oleh yang empat)

Penilaian hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud (529), kitab Shalat dan Bab “Doa ketika azan”, Tirmidzi (211), An-Nasai (2:26), Ibnu Majah (722).  Hadits ini juga dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab azan, Bab “Doa ketika azan”, sehingga bukan hanya dikeluarkan penulis kitab sunan. Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:312.

Ada dua tambahan dalam lafazh bacaan sesudah azan:

  1. Wad-darojah ar-rofi’ah, dikeluarkan oleh Ibnu As-Suni dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, ini tambahan mudraj dan termasuk tambahan yang tidak ada asal usulnya. Tambahan ini tidak ada sebagaimana kata Ibnu Hajar dalam At-Talkhish (1:221).
  2. Innaka laa tukhliful mii’aad ditambahkan di akhir bacaan azan di atas. Namun tambahan ini syadz (menyelisihi yang lebih kuat), dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (1:410).

Faedah hadits

  1. Al-wasilah dalam bacaan bakda azan di atas maksudnya adalah kedudukan di surga. Al-fadhilah artinya kedudukan lebih tinggi dari makluk lainnya. Maqomam mahmuudah artinya setiap yang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memujinya.
  2. Syafaat yang dimaksud dalam bacaan bakda azan adalah syafaatul uzhma dan syafaat bentuk lainnya.
  3. Dianjurkan berdoa setelah azan agar mudah meraih kebaikan dan bacaan bakda azan sendiri akan mudah meraih syafaat.

Lima Amalan Bakda Azan

(2) bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD atau membaca shalawat ibrahimiyyah seperti yang dibaca saat tasyahud.
(3) minta pada Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wasilah dan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah: ALLAHUMMA ROBBA HADZIHID DA’WATIT TAAMMAH WASH SHOLATIL QOO-IMAH, AATI MUHAMMADANIL WASILATA WAL FADHILAH, WAB’ATSHU MAQOOMAM MAHMUUDA ALLADZI WA ‘ADTAH …
(4) membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH WA ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUH, RADHITU BILLAHI ROBBAA WA BI MUHAMMADIN ROSULAA WA BIL ISLAMI DIINAA, sebagaimana disebutkan dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash.
(5) memanjatkan doa sesuai yang diinginkan. (Lihat Jalaa-ul Afham hal. 329-331)


Referensi:

  1. Jalaa-ul Afham fii Fadhli Ash Shalah was Salaam ‘ala Muhammad Khoiril Anam, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Dar Ibni Katsir, cetakan kedua, tahun 1432 H.
  2. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Kedua.

Share:

Bulughul Maram – Shalat: Jika Kentut, Shalat Diulangi dari Awal ataukah Tinggal Melanjutkan yang Tersisa?




Hasil gambar untuk bulughul maram






Bagaimana jika ada yang batal wudhunya karena kentut, apakah ia mengulangi shalatnya dari awal atau tinggal melanjutkan rakaat tersisa? Ternyata ada hadits yang membicarakan dua masalah ini. Kita lihat dari bahasan Bulughul Maram berikut ini.

Kitab Shalat – Bab Syarat-Syarat Shalat


Hadits #205

عَنْ عَلِيِّ بْنِ طَلْقٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – – إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي اَلصَّلَاةِ فَلْيَنْصَرِفْ , وَلْيَتَوَضَّأْ , وَلْيُعِدِ الصَّلَاةَ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ .
Dari ‘Ali bin Tahlq radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian kentut dalam shalat hendaklah ia membatalkan shalat, kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.” (Diriwayatkan oleh yang lima dan disahihkan oleh Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 205; Tirmidzi, no. 1164; An-Nasai dalam Al-Kubra, 5:324; Ahmad, 2:82. Kesimpulan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, 2:320, sanad hadits ini dhaif karena terdapat Muslim bin Sallam tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain ‘Isa bin Hithan. Yang menganggapnya kredibel hanyalah Ibnu Hibban. Sanadnya dan matannya disebutkan dalam Ats-Tsiqqat].

Hadits #206

وَعَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – – مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ , أَوْ رُعَافٌ , أَوْ مَذْيٌ , فَلْيَنْصَرِفْ , فَلْيَتَوَضَّأْ , ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ , وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ – رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ , وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang terkena muntah, mimisan (darah yang keluar dari hidung), madzi (lendir yang keluar dari kemaluan karena syahwat), maka hendaklah ia batalkan shalatnya, kemudian ia berwudhu, lalu ia lanjutkan shalat sebelumnya selama ketika itu ia tidak berbicara.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits ini didhaifkan oleh Imam Ahmad). [HR. Ibnu Majah, no. 1221. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa hadits ini dhaif, Ibnu Majah bersendirian dari penulis enam kitab lainnya. Lihat Minhah Al-‘Allam, 1:316].

Faedah hadits

Pertama: Hadits ini menunjukkan bahwa di antara syarat shalat adalah harus bersuci.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225)
Kedua: Kentut itu membatalkan wudhu dan membatalkan shalat. Ini adalah perkara yang disepakati oleh para ulama. Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Mundzir, “Para ulama sepakat bahwa keluarnya angin saat kentut dari dubur adalah hadats yang membatalkan wudhu.” (Al-Awsath, 1:107, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 2:322).
Ketiga: Hadits ‘Aisyah (hadits #206) menerangkan bahwa jika dapati hadats, maka cukup ulangi wudhu dan melanjutkan shalat yang tadi telah dikerjakan. Padahal hadits Abu Hurairah yang disebut di atas “Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu” menunjukkan bahwa shalat orang berhadats tidaklah diterima. Artinya jika terjadi hadats sebelum shalat, maupun berhadats di tengah shalat walaupun darurat, tetap shalatnya tidaklah diterima.
Keempat: Siapa yang tetap melanjutkan shalat saat berhadats di tengah shalat, maka itu diharamkan. Jika shalatnya dilanjutkan tanpa mengulangi wudhu, berarti istihza’ (melecehkan agama) dan bermain-main dengan syariat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
وَمَنْ صَلَّى بِغَيْرِ طَهَارَةٍ شَرْعِيَّةٍ مُسْتَحِلًّا لِذَلِكَ فَهُوَ كَافِرٌ وَلَوْ لَمْ يَسْتَحِلَّ ذَلِكَ فَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي كُفْرِهِ وَهُوَ مُسْتَحِقٌّ لِلْعُقُوبَةِ الْغَلِيظَةِ
“Siapa saja yang shalat tanpa bersuci yang sesuai perintah syariat dan menganggapnya keadaan tidak bersuci tadi itu halal, maka ia kafir. Seandainya ia tidak menganggapnya halal, para ulama berselisih pendapat tentang kafirnya. Namun ia berhak mendapatkan hukuman berat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21:295)
Intinya, semua hadits menunjukkan bahwa keluar angin saat kentut membatalkan wudhu dan wajib mengulangi shalat dari awal. Demikian penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 2:323.
Kelima: Para ulama berbeda pendapat mengenai sesuatu yang najis yang keluar dari selain dua jalan apakah membatalkan wudhu ataukah tidak. Imam Syafii, Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad, juga pilihan Ibnu Taimiyah, As-Syaukani, Syaikh As-Sa’di, Syaikh Ibnu Baz, bahwa najis yang keluar dari selain dua jalan tidaklah membatalkan wudhu. Karena asalnya tetap seperti keadaan asal, sampai adanya dalil yang menyatakan batal. Dalam perang Dzatur Riqa’ ada sahabat ‘Abbad bin Busyr, ia terkena panah dan keluar darah yang banyak, namun ia tetap melanjutkan shalat. (HR. Abu Daud, no. 198; Ahmad, 23:51; Ibnu Khuzaimah, no. 36; Ibnu Hibban, 3:375)
Ibnu Taimiyyah menganjurkan untuk berwudhu saja ketika keluar mimisan dan muntah (namun bukan wajib). Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 21:222, 21:228, dan 20:526.


Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Kedua.


Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22849-bulughul-maram-shalat-jika-kentut-shalat-diulangi-dari-awal-ataukah-tinggal-melanjutkan-yang-tersisa.html
Share:

Hadits Al-Musii’ fii Shalatihi (Orang yang Jelek Shalatnya) Dasar dari Rukun Shalat

Hadits yang dikenal dengan al-musii’ fii shalatihi (orang yang jelek shalatnya) adalah hadits yang jadi dasar mengenai rukun shalat, sehingga penting sekali untuk dipelajari secara mendalam.

Hadits pertama tentang hal ini adalah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut.


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَرَدَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » فَصَلَّى ، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » . ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang jelek shalatnya tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Alquran yang mudah bagimu. Lalu rukuklah dan sertai thumakninah ketika rukuk. Lalu bangkitlah dan beriktidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thumakninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thumakninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thumakninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari, no. 793 dan Muslim, no. 397).
Dalam riwayat An-Nasai disebutkan dari Rifa’ah bin Raafi’, ia berkata,
كُنْتُ معَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا ِفي المَسْجِدِ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَِّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ كَانَ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْمُقُهُ فِي صَلاَتِهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ثُمَّ قاَلَ لَهُ: اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَِّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ثُمَّ قَالَ: اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. حَتَّى كَانَ عِنْدَ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَقَالَ: وَالَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ لَقَدْ جَهَدْتُ وَحَرَصْتُ فَأَرَنِي وَعَلِّمْنِي. قَالَ: إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تُصَلِّيَ فَتَوَضَّأ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَكَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَاعِدًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ فَإِذَا أَتْمَمْتَ صَلاَتَكَ عَلَى هَذَا فَقَدْ تَمَّتْ وَمَا انْتَقَصْتَ ِمنْ هَذَا فَإنَّمَا تَنْتَقِصُهُ مِنْ صَلاَتِكَ.
“Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk-duduk di masjid, maka ada seseorang yang masuk dan mengerjakan shalat dua rakaat, kemudian ia datang dan mengucapkan salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerhatikan terus shalatnya, kemudian beliau menjawab salam. Lantas beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Lantas ia kembali kemudian mengulangi shalat, kemudian ia datang dan mengucapkan salam kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya, kemudian beliau bersabda, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Sampai seperti itu terulang hingga ketiga atau keempat kalinya. Orang yang jelek shalatnya pun mengatakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi yang menurunkan kitab kepadamu, aku sudah sungguh-sungguh dan semangat dalam menjalankan shalat, engkau sudah melihatku, maka sudahlah ajarilah aku.” Beliau pun bersabda, “Jika engkau ingin menjalankan shalat, berwudhulah dan perbagus wudhumu, lalu hadaplah kiblat, kemudian bertakbirlah, lalu bacalah surah. Kemudian rukuklah sampai thumakninah ketika rukuk. Kemudian bangkitlah dari rukuk sampai lurus berdiri. Kemudian sujudlah sampai thumakninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dari sujud sampai thumakninah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali sampai thumakninah ketika sujud, lalu bangkitlah. Jika engkau telah menyempurnakan shalatmu seperti ini, maka sudah sempurna shalatmu. Apa saja yang engkau kurang dari ini, maka berarti telah kurang dalam shalatmu.” (HR. An-Nasai, no. 1052. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Hadits ini punya kedudukan yang mulia, dikenal dengan hadits al-musii’ fii shalatihi, orang yang jelek dalam shalatnya. Tanda hadits ini begitu penting karena berisi berbagai hukum dalam tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan lewat lisan beliau. Dan sesuai kaedah dalam ilmu ushul fiqh “al-qaul muqaddam ‘ala mujarrad al-fi’li” (perkataan lebih didahulukan dari sekadar perbuatan). Itulah penjelasan dari umumnya perintah yang disebutkan dalam ayat,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, no. 6008)
Hadits ini memiliki banyak jalur dan banyak lafazh, diriwayatkan dari dua orang sahabat yaitu Abu Hurairah dan Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhuma. Hadits Rifa’ah bin Raafi’ ini hadits penting karena ia sendiri yang hadir dalam kisah tersebut karena orang yang jelek shalatnya adalah Khalad bin Raafi’ yang merupakan saudara dari Rifa’ah. Tentu saja hadits Rifa’ah lebih punya kelebihan dalam dhabth dan itqan (bagusnya hafalan).

Keterangan hadits

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh sampai mengulangi shalat hingga tiga kali untuk mengingatkannya barangkali ia lupa, atau memantapkan ilmunya jika ia tidak tahu. Seperti ini akan mudah diterima, ini bukan karena ingin mentakzir yaitu mengingatkan keras orang yang salah. Namun ini dalam rangka meluruskan.
  2. Dalam riwayat ada tambahan untuk isbaaghul wudhu’ yaitu menyempurnakan wudhu.
  3. “Kemudian membaca Alquran yang mudah bagimu” dalam riwayat Abu Hurairah tidak ada perbedaan. Namun dalam hadits dari Rifa’ah ada perbedaan sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram.
  4. Thumakninah yang dimaksud adalah as-sukuun (tenang) walaupun hanya sebentar. Sedangkan yang dimaksud secara istilah adalah diamnya anggota tubuh beberapa saat.

Faedah hadits

  1. Hadits ini jadi dalil akan wajibnya takbiratul ihram dengan lafazh “Allahu akbar”. Takbiratul ihram ini termasuk rukun shalat, shalat tidaklah sah tanpa takbiratul ihram. Lafazh takbiratul ihram ini tidak bisa digantikan dengan lafazh Allahu Ajall, Allahu A’zhom, seperti itu tidaklah sah.
  2. Doa istiftah tidaklah wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan dalam hadits ini.
  3. Wajib membaca apa yang mudah dibaca dari Alquran, dan yang dimaksud adalah membaca Al-Fatihah bagi yang bisa membacanya. Al-Fatihah dikatakan sebagai bacaan yang mudah dibaca dari Alquran karena kaum muslimin mudah menghafalkannya.
  4. Jika tidak mampu membaca Al-Fatihah berarti membaca ayat lain yang mudah dibaca. Jika tidak bisa pula, maka beralih pada membaca dzikir (yaitu bisa dengan bacaan tahmid, takbir, dan tahlil).
  5. Yang termasuk rukun shalat pula adalah rukuk, berdiri dari rukuk (iktidal), sujud dua kali, dan duduk antara dua sujud. Karena dalam hadits ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya.
  6. Wajib thumakninah dalam setiap rukun seluruhnya. Rukun shalat tidaklah sah jika tidak ada thumakninah, sebagaimana pendapat jumhur ulama (Syafiiyyah, Hambali, Malikiyyah, Zhahiriyyah). Karena dalam hadits ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan thumakninah dalam rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, dan duduk antara dua sujud. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mengulangi shalat karena tidak memenuhi rukun ini. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan bahwa ia tidak shalat, padahal ia dalam keadaan tidak tahu (jahil). Hal ini menunjukkan bahwa siapa saja yang meninggalkan thumakninah, ia tidak dikatakan shalat. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa (22:569) menyebutkan bahwa sukun (tenang) dan thumakninah dalam shalat dihukumi wajib berdasarkan ijmak sahabat.

Dasar yang menunjukkan bahwa thumakninah termasuk wajib dalam shalat adalah hadits dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.أَوْ قَالَ : لاَ يُقِيْمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوْعِ وَ السُّجُودِ
“Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari shalatnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” Atau beliau bersabda, “Ia tidak menegakkan punggungnya ketika rukun dan sujud.” (HR. Ahmad, 22:569. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan dalam Minhah Al-‘Allam, 3:12, bahwa sanad hadits ini sahih).
  1. Mengenai kadar thumakninah ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa thumakninah adalah sukun (tenang) walaupun sebentar. Ini seperti pengertian secara bahasa dari thumakninah. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa thumakninah adalah sekadar dzikir yang dibaca tanpa tergesa-gesa.
  2. Wajib tartib (berurutan) dalam melakukan rukun-rukun yang ada sebagaiman disebutkan dalam hadits karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkannya berurutan dengan kata “tsumma”. Berurutan ini termasuk rukun shalat yang harus ada dalam shalat.
  3. Segala yang disebutkan dalam hadits ini dihukumi wajib. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang jelek shalatnya dengan cara seperti yang beliau sebutkan. Adapun yang tidak disebutkan dalam hadits musii’ fii shalatihi apakah masuk pula dalam wajib ataukah tidak, ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Kalau ulama madzhab Syafii hanya membatasi rukun shalat pada hadits ini saja, selain itu masuk dalam perkara sunnah shalat. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.

Share:

Manhajus Salikin: Sunnah Shalat

Hasil gambar untuk Manhajus Salikin

Kitab Shalat


Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitabnya Manhajus Salikin,
وَالْبَاقِي سُنَنُ أَقْوَالٍ وَأَفْعَالٍ مُكْمِلٍ لِلصَّلَاةِ.
“Dan lainnya adalah sunnah dalam bentuk ucapan dan perbuatan menjadi penyempurna shalat.”

Sunnah berupa ucapan

  1. Doa istiftah.
  2. Isti’adzah dan basmalah.
  3. Membaca “aamiin”.
  4. Membaca surah (selain Al-Fatihah) atau sebagian surah pada tiap rakaat dari rakaat pertama dan kedua, bisa juga dibaca kadang-kadang pada rakaat ketiga dan keempat.
  5. Takbir intiqaal (berpindah rukun).
  6. Membaca dzikir ketika rukuk dan sujud.
  7. Membaca at-tasmii’ (sami’allahu liman hamidah) dan at-tahmid (robbanaa wa lakal hamdu). Hal ini berlaku bagi imam dan makmum sebagaimana jadi pendapat dalam madzhab Syafii.
  8. Doa di antara dua sujud dan doa ketika tasyahud seperti berlindung dari empat hal (dari siksa Jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati, serta kejelekan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal).
  9. Membaca shalawat ketika tasyahud (awal dan akhir). Dalam madzhab Syafii, dalam tasyahud awal juga disunnahkan membaca shalawat.
  10. Salam kedua, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kadang-kadang salam hanya sekali.

Sunnah berupa perbuatan

  1. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk, dan bangkit dari tasyahud awwal.
  2. Meletakkan tangan di dada.
  3. Membuka kedua telapak kaki sedikit.
  4. Membaca bacaan dengan jahar pada shalat yang diperintahkan untuk jahar, membaca bacaan dengan lirih pada shalat yang diperintahkan untuk lirih.
  5. Membaca Alquran dengan tartil, dan berhenti pada setiap ayat.
  6. Membaca surah pilihan dari muffashal (ada surah yang panjang dan pendek) pada shalat tertentu, misalnya shalat Shubuh dianjurkan membaca surah thiwalul mufashshal.
  7. Memegang lutut dengan telapak tangan, sambil jari tangannya direnggangkan ketika rukuk. Sedangkan punggung dalam keadaan rata dengan kepala, juga menjauhkan lengan dari lambung.
  8. Mendahulukan kedua telapak tangan dari lutut ketika turun sujud. Bisa pula sebaliknya yaitu mendahulukan lutut dahulu kemudian telapak tangan sebagaimana pendapat jumhur ulama dari Syafiiyah, Hanafiyah, Hambali.
  9. Bangkit dari sujud untuk berdiri dengan bertumpu pada tangan sebagaimana pendapat Malikiyyah, Syafiiyyah, dan sebagian salaf, termasuk juga pendapat dari Syaikh Al-Albani.
  10. Menjadikan kepala di antara dua telapak tangan ketika sujud dan lengan dibuat terbuka, lalu jari-jari kaki dihadapkan ke arah kiblat. Dilarang kedua lengan iftirasy yaitu menempel pada lantai sebagaimana jadi pendapat empat madzhab.
  11. Duduk iq’a’ saat duduk di antara dua sujud (kadang-kadang) dan duduk iftirasy ketika itu, begitu pula duduk iftirasy saat tasyahud awwal.
  12. Duduk istirahat setelah sujud kedua sebelum bangkit ke rakaat kedua atau ke rakaat keempat.
  13. Meletakkan kedua tangan pada paha pada saat duduk dan saat tasyahud.
  14. Duduk tawarruk pada rakaat terakhir.
  15. Melihat pada jari telunjuk dan berisyarat dengannya ketika tasyahud.
  16. Menoleh ke kanan dan ke kiri saat salam.
  17. Salam kedua.

Referensi:

  1. Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  2. Syarh Manhaj AsSalikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.


Share:

Syarhus Sunnah: Makanan dan Minuman di Surga

Sekarang kita bicarakan tentang makanan dan minuman di surga, ini juga dibicarakan oleh Imam Al-Muzani rahimahullah dalam matan akidah beliau, Syarhus Sunnah.
 



Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,



أُكُلُهَا دَائِمٌ وَظِلُّهَا ۚ تِلْكَ عُقْبَى الَّذِينَ اتَّقَوْا ۖ وَعُقْبَى الْكَافِرِينَ النَّارُ
Buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.” (QS. Ar-Ra’du: 35)

Makanan dan minuman di surga tidak pernah habis

Dalam Tamam AlMinnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani (hlm. 121) dijelaskan tentang perkataan Imam Al-Muzani rahimahullah di atas, “Di surga ada berbagai makanan, buah-buahan, dan minuman, akan terus ada dan tidak ada habisnya, juga tidak fana. Begitu pula naungannya tidak fana dan tidak dihapus.”
Dalam ayat disebutkan,
۞ مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ ۖ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۖ أُكُلُهَا دَائِمٌ وَظِلُّهَا ۚ تِلْكَ عُقْبَى الَّذِينَ اتَّقَوْا ۖ وَعُقْبَى الْكَافِرِينَ النَّارُ
Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.” (QS. Ar-Ra’du: 35)
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
خَسَفَتِ الشَّمْسُ علَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّى، قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، رَأَيْنَاكَ تَنَاوَلْتَ شَيْئًا فِي مَقَامِكَ، ثُمَّ رَأَيْنَاكَ تَكَعْكَعْتَ، قَالَ: إنِّي أُرِيْتُ الجَنَّةَ، فَتَنَاوَلْتُ مِنْهَا عُنْقُودًا، وَلَوْ أَخَذْتُهُ لَأَكَلْتُمْ مِنْهُ مَا بَقِيَتِ الدُّنْيَا.
Gerhana pernah terjadi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas beliau shalat. Orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami tadi melihat engkau mengambil sesuatu di tempatmu lantas kami melihat engkau beralih ke belakang. Beliau pun bersabda, ‘Sesungguhnya aku telah melihat surga dan aku tadi berupaya meraih setandan buah-buahan darinya. Seandainya aku mendapatkannya lalu kalian memakannya, niscaya kamu (tidak butuh lagi makanan) di dunia.’” (HR. Bukhari, no. 748)

Apakah di surga butuh buang hajat?

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ أهْلَ الجَنَّةِ يَأْكُلُونَ فيها ويَشْرَبُونَ، ولا يَتْفُلُونَ ولا يَبُولونَ ولا يَتَغَوَّطُونَ ولا يَمْتَخِطُونَ قالوا: فَما بالُ الطَّعامِ؟ قالَ: جُشاءٌ ورَشْحٌ كَرَشْحِ المِسْكِ، يُلْهَمُونَ التَّسْبِيحَ والتَّحْمِيدَ، كما تُلْهَمُونَ النَّفَس
“Sesungguhnya penduduk surga, mereka makan dan minum di dalam surga, namun mereka tidak meludah, tidak kencing, tidak buang air besar, dan tidak mengeluarkan dahak.”
Para sahabat bertanya: ‘Lalu bagaimana nasib makanan di perut mereka?’
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Menjadi sendawa, dan keringat yang berbau misk. Mereka diilhami selalu bertasbih dan bertahmid, sebagaimana kalian selalu bernafas.” (HR. Muslim, no. 2835).

Makan dan minum di surga semaunya

Di dalam surga seseorang makan dan minum bebas sekehendaknya sesuai selera, Allah Ta’ala berfirman,
وَفَاكِهَةٍ مِمَّا يَتَخَيَّرُونَ , وَلَحْمِ طَيْرٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ
Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al-Waqi’ah: 20-21)
Allah juga berfirman,
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.” (QS. Az-Zukhruf: 71)
Allah Ta’ala telah mengizinkan penduduk surga untuk menyantap makanan dan minuman yang mereka inginkan dan mereka pilih, “(kepada mereka dikatakan):
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (QS. Al-Haqqah: 24)
Juga telah disebutkan bahwasanya di surga itu ada lautan yang berisikan air, lautan khamr, lautan susu, lautan madu, dan bahwasanya sungai-sungai di surga berasal dari lautan-lautan ini. Di dalam surga pula terdapat berbagai macam mata air. Penduduk surga mereguk minuman dari lautan-lautan, sungai-sungai, dan mata air-mata air tersebut.
Hidangan pertama yang Allah sajikan spesial untuk penduduk surga adalah bagian paling nikmat, hati ikan.
Tsauban—bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam–, “Ada seorang Yahudi bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَما تُحْفَتُهُمْ حِينَ يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ؟ قالَ: زِيَادَةُ كَبِدِ النُّونِ، قالَ: فَما غِذَاؤُهُمْ علَى إثْرِهَا؟ قالَ: يُنْحَرُ لهمْ ثَوْرُ الجَنَّةِ الذي كانَ يَأْكُلُ مِن أطْرَافِهَا قالَ: فَما شَرَابُهُمْ عليه؟ قالَ: مِن عَيْنٍ فِيهَا تُسَمَّى سَلْسَبِيلًا قالَ: صَدَقْتَ
Apa yang diberikan kepada mereka ketika mereka masuk surga ?” Rasulullah bersabda, “Hati ikan.” Ia bertanya lagi, “Apa menu mereka selanjutnya?” Beliau menjawab, “Disembelihkan untuk mereka sapi surga yang mereka makan dari ujung-ujungnya.” Ia bertanya lagi, “Apa minuman mereka?” Beliau menjawab, “(Minuman mereka diambil dari) mata air salsabila.” Lalu ia mengatakan, “Engkau benar.” (HR. Muslim, no. 315)

Sungai di surga dengan empat rasa

Dalam surah Muhammad disebutkan,
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ ۖ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى ۖ وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ ۖ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ
(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?” (QS. Muhammad: 15)

Cara menyantap makanan di surga, mata air Zanjabil, Air Kafur, dan Salsabil

Dalam surah Al-Insan disebutkan,
وَدَانِيَةً عَلَيْهِمْ ظِلَالُهَا وَذُلِّلَتْ قُطُوفُهَا تَذْلِيلًا , وَيُطَافُ عَلَيْهِمْ بِآنِيَةٍ مِنْ فِضَّةٍ , وَأَكْوَابٍ كَانَتْ قَوَارِيرَا , قَوَارِيرَ مِنْ فِضَّةٍ قَدَّرُوهَا تَقْدِيرًا , وَيُسْقَوْنَ فِيهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجَبِيلًا , عَيْنًا فِيهَا تُسَمَّىٰ سَلْسَبِيلًا
Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabila.” (QS. Al-Insan: 14-18)
Yang dimaksud adalah pohon-pohon di surga, dahan-dahannya begitu dekat. Ketika mereka ingin buah tersebut, pohon tersebut mendekat dari atas, seakan-akan pohon tersebut mendengar dan taat. Mujahid berkata bahwa jika penduduk surga berdiri, pohon itu meninggi sesuai dengan kadarnya. Jika ia duduk, pohon tersebut merunduk sehingga mudah untuk diambil. Jika ia berbaring, pohon itu semakin merunduk lagi sehingga mudah untuk diambil.
Qatadah dan selainnya menerangkan bahwa Zanjabil itu campuran minuman di surga. Kadang campuran yang dinginnya adalah air kafur sedangkan campuran panasnya adalah Zanjabil. Zanjabil adalah mata air di surga, dinamakan Salsabila karena sifatnya yang mengalir dan bagusnya mata air tersebut. Inilah yang disarikan dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir rahimahullah.
Air kafur ini yang disebutkan dalam surah Al-Insan pula,
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.” (QS. Al-Insan: 5)

Referensi:

  1. Iidhah Syarh As-Sunnah li Al-Muzani. Cetakan Tahun 1439 H. Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Umar Salim Bazmul. Penerbit Darul Mirats An-Nabawiy.
  2. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  3. Tamam AlMinnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani. Khalid bin Mahmud bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Juhani. www.alukah.net.
  4. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Share:

IKLAN

IKLAN

Definition List

Unordered List

Support